Magelang Pekan-pekan terakhir bulan Syakban, mayoritas pendukung kebudayaan Islam-Jawa, memiliki tradisi pembersihan makam leluhur. Tradisi ini disebut nyadran.
Istilah nyadran berasal dari bahasa Sansekerta, yakni "Sradha". Istilah yang digunakan warga Hindu untuk upacara pemuliaan roh leluhur. Diawali di masa pemerintahan Raja Majapahit, Hayam Wuruk, ia menyelenggarakan upacara Sradha untuk memuliakan arwah sang Ibunda Tribhuwana Tunggadewi.
Masuknya Islam membuat ritual Sradha menjadi tradisi nyadran yang rutin diselenggarakan pada bulan Ruwah. Kosa kata Ruwah merujuk pada kata Arwah, di mana bulan Syakban dianjurkan untuk memuliakan orangtua, termasuk yang sudah meninggal.
Di wilayah Kabupaten Magelang, nyadran biasanya diselenggarakan oleh dusun atau desa yang memiliki pemakaman umum. Menurut peminat budaya di Muntilan, Agus Sutijanto, kadang penyelenggaraan nyadran diselenggarakan trah makam tertentu. Biasanya makam keluarga.
"Sejarahnya, dulu sebuah dusun terbentuk oleh seorang cikal bakal. Dari cikal bakal inilah, lahir dan berkembanglah anak, cucu, cicit dan seterusnya. Ketika anak keturunan itu tinggal di luar dusun awal, nyadran menjadi momentum reuni keluarga besar satu nenek moyang," kata Agus, Minggu.
Di banyak pemakaman umum, memang menjadi tidak jelas cikal bakal dusun yang ada. Warga berpijak pada beberapa dongeng. Memang menjadi tak terlalu penting membahas akurasi asal-usul sejarah dusun. Namun nyatanya tradisi nyadran mampu menjadi pemersatu dan masih berlangsung hingga saat ini.
"Karena pengaruh Islam, nyadran ditujukan untuk bersama-sama mendoakan arwah leluhur Allah SWT," kata Agus Sutijanto.
Penyelenggaraan nyadran diawali dengan kerja bakti membersihkan makam. Kemudian dilanjutkan dengan mendoakan arwah. Untuk setiap tempat memang bervariasi, namun umumnya adalah pembacaan Surat Yasin dilanjutkan tahlil.
"Saat datang, semua membawa nasi berkat. Ada juga yang membawa snack, atau bahkan nuk. Nanti selesai berdoa nasi berkat, tumpeng, snack, nuk itu kemudian dibagikan," kata Mbah Sadak, salah satu sesepuh desa Sedayu, Muntilan.
liputan6.com
0 Response to "Nyadran, Menziarahi Sejarah Diri - Regional"
Posting Komentar