SETIAP kalender tahunan tiba pada 13-15 Mei, memori kita kembali diingatkan oleh sebuah peristiwa yang telah menistakan kemanusiaan dan keadilan yang terjadi sembilan belas tahun silam: Tragedi Mei.
Tragedi Mei adalah peristiwa kerusuhan massal yang terjadi pada 1998. Selama tiga hari, amukan massa dan penjarahan massal secara masif pecah di Jakarta, Solo, dan Medan, yang diduga berakibat jatuhnya ribuan korban di iantaranya karena terbakar terkurung di dalam pusat-pusat pertokoan.
Menurut penyelidikan Komnas HAM, peristiwa itu diduga dilakukan secara sistematis dan/atau terencana.
Meskipun sudah berlangsung selama sembilan belas tahun yang lalu, gambaran atas kebiadaban peristiwa itu dan rasa luka masih abadi, karena kebenarannya belum diungkap.
Siapa aktor utama, pelaku lapangan, dan motifnya, belum jelas. Padahal, selama sekian tahun, korban yang di antaranya dimakamkan secara massal di Taman Pemakaman Umum Pondok Rangon, korban yang masih hidup, dan keluarganya, menantikan adanya kepastian hukum dan keadilan yang menjadi hak asasinya.
Meskipun sejak peristiwa itu bangsa ini telah melewati lima presiden termasuk era Presiden Jokowi saat ini, namun tabir atas Tragedi Mei belum disingkap. Nampaknya, suksesi kepresidenan masih sebatas prosesi administratif per lima tahun, karena setiap presiden tidak berkomitmen dan mempunyai kebijakan yang tegas dalam menyikapi Tragedi Mei.
Negara masih mengabaikan hak-hak korban atas kebenaran dan keadilan karena ketidakjelasan arah dan proses hukum sesuai dengan mekanisme penanganan kasus pelanggaran HAM yang berat sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Komnas HAM telah menyerahkan berkas penyelidikan dugaan pelanggaran HAM yang berat dalam Tragedi Mei ke Kejaksaan Agung sejak beberapa tahun yang lalu. Namun, ada keengganan dari negara untuk menuntaskan kasus itu dengan alasan teknis dan administratif.
Koordinasi dan sinergitas antara kedua lembaga negara itu seharusnya mampu mempersiapkan materi perkara dan menentukan terduga pelaku supaya bisa segera masuk ke ranah pengadilan HAM ad-hoc.
Penyelidikan Komnas HAM berdasarkan mandat Pasal 18 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, adalah tindak lanjut dari rekomendasi TGPF yang dibentuk oleh Presiden BJ Habibie pada 23 Juli 1998
Berdasarkan temuan Tim Gabungan Pencari Fakta, Tragedi Mei diduga mengakibatkan lebih dari seribu orang meninggal akibat terjebak dalam bangunan yang terbakar atau dibakar, ratusan orang luka-luka, penculikan terhadap beberapa orang, pemerkosaan atau pelecehan seksual terhadap perempuan yang sebagian besar dari minoritas etnis tertentu khususnya Tionghoa, serta ribuan bangunan dibakar.
Di balik fakta-fakta yang menistakan kemanusiaan itu, adanya wacana dari pemerintah untuk menyelesaikan Tragedi Mei melalui mekanisme non yudisial, tentu saja menyakiti hati dan perasaan keluarga korban.
Padahal, di masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo, masyarakat khususnya korban berharap ada titik terang atas penyelesaian Tragedi Mei, oleh karena ia adalah presiden dari kalangan masyarakat sipil dan dianggap tidak dibebani oleh kasus masa lalu.
Namun, harapan ini nampaknya harus disimpan dulu karena pemerintahan saat ini diduga tersandera oleh kepentingan dan tarik menarik politik kekuasaan.
Dengan didukung oleh masyarakat kelas menengah dan aktivis HAM ketika terpilih sebagai presiden, apabila Presiden Jokowi enggan untuk menuntaskan Tragedi Mei melalui mekanisme pengadilan HAM ad-hoc, tentu sangat disayangkan. Jangan sampai politik impunitas dilanggengkan oleh karena kepentingan politik kekuasaan yang mengabaikan moral dan keadilan publik.
Daripada mengambil kebijakan yang melawan logika hukum, seharusnya Presiden Jokowi mendorong adanya Pengadilan HAM ad-hoc atas Tragedi Mei.
Biarlah pengadilan yang akan mengadili dan memutuskan, berdasarkan pada fakta-fakta persidangan, siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas Tragedi Mei. Adanya pengadilan akan menjauhkan prasangka dan kecurigaan masyarakat bahwa pemerintahan melindungi aktor-aktor tertentu.
Kita tentu selalu mengingat janji Presiden Jokowi ketika berkampanye bahwa ia akan menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat, termasuk di antaranya Tragedi Mei. Dalam Nawa Cita yang berisi sembilan agenda prioritas Presiden Jokowi, di nomor 4 ditegaskan “menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.”
Janji atas Nawa Cita tersebut seharusnya diwujudkan melalui negara yang hadir, bukannya lepas tangan atas Tragedi Mei. Apabila gagal, berarti negara menunjukkan “kelemahannya” di hadapan para pelanggar HAM.
Kita tahu bahwa begitu banyak agenda prioritas negara yang harus ditunaikan oleh Presiden Jokowi, dari persoalan pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan sumber daya manusia.
Namun, jangan lantas persoalan kemanusiaan dan keadilan dinegasikan dengan alasan mengejar pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Kamanusiaan dan keadilan adalah pilar bangsa sebagaimana di sila kedua dan kelima Pancasila, sehingga harus menjadi pondasi dalam membangun bangsa ini, bukan sebaliknya.
Cukup sudah sembilan belas tahun Tragedi Mei terjadi tanpa solusi. Presiden Jokowi tidak perlu menunggu hingga tahun depan untuk mengambil langkah-langkah kongkret memenuhi dan melindungi hak-hak korban dan keluarganya.
Semakin lama presiden bersikap, semakin sulit keadilan dicapai. Kita berharap bahwa pada peringatan 20 tahun Tragedi Mei, kisah kelam peristiwa itu telah dilewati melalui kebijakan Presiden Jokowi membentuk Pengadilan HAM ad-hoc.
kompas.com
0 Response to "Presiden Jokowi dan Tragedi Mei"
Posting Komentar