JAKARTA, - Pakar hukum tata negara Refly Harun mengatakan, pengenaan pasal penistaan agama harus betul-betul dipertimbangkan dari berbagai aspek. Menurut dia, ucapan saja tidak kuat menjadi bukti konkret bahwa seseorang telah menistakan agama.
Ia mengatakan, jika terjadi lewat ucapan, kemungkinan hanya ada perbedaan pendapat.
"Masalah ketersinggungan relatif, ada yang tersinggung, ada yang tidak. Tapi kita harus lihat tindakan nyata yang dianggap menistakan. Misalnya, menginjak Al Quran, Injil, Taurat, menyobek-nyobek, dan sebagainya," kata Refly dalam diskusi di Jakarta, Minggu.
Karena itu, Refly menganggap pasal 156 a tentang penistaan agama sebagai pasal karet yang dinilai berdasarkan subjektivitas. Semestinya, menurut dia, penyelesaiannya bisa ditempuh dengan adanya dialog dengan pemuka agama.
Menurut dia, ajaran agama tidak begitu saja ternoda dengan komentar, melainkan dengan perbuatan yang merendahkan agama tertentu.
"Hal seperti ini harus diselesaikan di pemuka agama. Jadi harus lebih toleransi," kata Refly.
Refly mengatakan, pasal penistaan agama harus diterapkan secara selektif. Jangan sampai masyarakat menjadi latah dan mengaitkan perbedaan pendapat soal agama, langsung dianggap menista. Penerapan pasal tersebut, menurut Refly, berpotensi membungkam hak berdemokrasi dan mengemukaan pendapat.
Karena itu, ia menyarankan agar ada peraturan pengganti undang-undang atas pasal tersebut. Opsi lainnya yakni kembali mengajukan uji materil dengan alasan konstitusional yang baru.
kompas.com
0 Response to "Refly Harun: Kasus Penistaan Agama Bisa Diselesaikan dengan Dialog"
Posting Komentar