Jakarta - Apa yang tersisa, yang masih dapat kita renungkan dari momen 1 Juni kemarin, yang dirayakan dengan gegap gempita di sosmed dengan aneka hashtag sebagai Hari Lahir Pancasila? Tentunya banyak hal, banyak aspek yang dapat kita renungkan.
Bagi saya jawaban atas penyataan tersebut adalah "krisis identitas". Anak bangsa yang seharusnya menjadi penerus dan generasi harapan ke depan, mengalami kegamangan eksistensial. Ada ruang kosong dalam pikiran dan hati mereka, dan banyak pertanyaan yang hadir. Siapa saya? Untuk apa saya ada? Dan, bagaimana saya hidup berbangsa.
Negara alpa untuk mengisi ruang kosong mereka. Negara tidak mengambil bagian untuk mengisi kekosongan itu. Harusnya negara hadir di sana, dan tentunya dengan nilai-nilai kebangsaan, yakni nilai-nilai Pancasila. Jiwa haus anak bangsa memaksa mereka harus menemukan sendiri jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Pada akhirnya pencarian mereka diisi dengan nilai primordial. Nilai-nilai tersebut mengkristal dan menjadi keyakinan kebenaran yang dibawa ke ruang-ruang publik, yang tentunya akan terjadi benturan-benturan keyakinan. Semua merasa benar; di sini sekat-sekat kesatuan dibongkar, tentunya hal ini merapuhkan persatuan.
Benturan tersebut semakin tajam ketika keberadaan anak bangsa dikungkung oleh dominasi yang canggih di babak era teknologi informasi; internet dengan sosial medianya seperti Facebook, Twitter, dan Instagram. Semua itu telah mencungkil mereka keluar dari konteks komunitas kebangsaannya.
Mereka dilemparkan ke mana-mana dan di mana-mana oleh opini-opini. Mereka tak sadar siapa sebenarnya konteks komunitas pembuatnya dan tujuan pembuatnya. Mereka seakan mendengar dan memahami, tapi apa yang didengar dan dipahami semakin mengaburkan eksistensi mereka.
Bahkan yang ironis, sebagian dari mereka dipermainkan oleh opini-opini dan terus berpindah dari satu opini ke opini yang lain. Menjadi generasi nomaden, yang tak tahu siapa diri mereka. Hal ini persis seperti pemikiran Heidegger sebagaimana digambarkan F. Budi Hardiman.
Di sisi lain, pemerintah terlalu sibuk dengan pembangunan infrastruktur. Bumi Indonesia diisi dengan beton-beton pencakar langit. Jalan-jalan yang lapang. Jembatan-jembatan nan kokoh. Waduk-waduk yang sangat besar. Dan, transportasi di dalam tanah.
Pertumbuhan ekonomi dipastikan meningkat, tingkat kemiskinan pun akan semakin kecil. Tapi, kesenjangan bisa saja semakin besar. Aktivitas pemerintah ini memang penting. Tapi, kehadirannya tampak tidak diikuti dengan pembangunan nilai dan karakter.
Akhirnya diri anak bangsa menjadi tandus, dan kegamangan eksistensial pun hadir. Mereka berada dalam dunia mimpi fatamorgana.
Wajah Orde Baru, yang dihias dengan Pancasila, harus kita akui terbukti mampu membenamkan nilai bagi anak bangsa ini. Walaupun cara memberhalakannya salah arah. Kebencian atas kesalahan tersebut, jangan disikapi dengan penolakan terhadap Pancasila.
Dosa Orde Baru tentunya bukan salah Pancasila. BP7 yang dihasilkan melalu Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 1979 menjadi tukang besi yang memukul dan menempa cara berpikir tunggal ala mereka. Cara tersebut tentunya harus dikoreksi, cara yang lebih humanis dan emansipatif layak dipikirkan.
Apa kita tidak merasa ironis dan miris ketika siswa-siswi sudah lupa sila-sila Pancasila? Mereka hanya mampu menghapal sila pertama. Itu, baru menghafal bagaimana dengan memahaminya?
Kesadaran pun akhirnya hadir menjelang hari lahirnya Pancasila yang ke-72. Pemerintah telah menandatangani Perpres 54 Tahun 2017 tentang Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila. Secara normatif dalam Perpres badan tersebut, tugas membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan umum pembinaan ideologi Pancasila dan melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan.
Langkah Pemerintah ini memang patut diapresiasi. Tapi, apakah badan tersebut dapat mengisi ruang kosong dalam jiwa anak bangsa Indonesia? Masih banyak pekerjaan rumah.
Kita tinggal menunggu langkah-langkah nyata badan tersebut. Menelisik tantangan faktual hari ini, momen hari lahirnya Pancasila harus dapat diterjemahkan oleh lembaga tersebut sebagai kemampuan melahirkan "kembali" Pancasila. Lembaga ini harus mampu menanam nilai-nilai Pancasila dalam bumi persada Indonesia.
M Ilham Hermawan Wakil Ketua Pusat Studi Pancasila Universitas Pancasila
detik.com
0 Response to "Pancasila, Ruang Kosong, dan Kealpaan Negara"
Posting Komentar