Jakarta - Mahkamah Agung dinilai tidak cermat mengadili perkara regulasi holdingisasi yang tertuang dalam PP Nomor 72 Tahun 2016. Menurut pemohon, holdingisasi merupakan bentuk nyata privatisasi.
Permohonan itu diajukan oleh KAHMI, Yayasan Re-IDE Indonesia, Ahmad Redi, dan Suparji.
"MA tidak secara cermat melihat bahwa ketika ada perubahan bentuk suatu PT BUMN menjadi PT, bukan BUMN, dan kebijakan itu tanpa melalui persetujuan DPR, sebagai kebijakan privatisasi. MA tidak cermat memaknai bahwa holdingisasi BUMN dalam PP 72/2016 merupakan tindakan nyata privatisasi," kata Redi saat dihubungi detikcom, Senin.
Redi mengajukan beberapa argumen hukum. Pertama, berdasarkan UU Keuangan Negara dan Putusan MK No 47/PUU-XI/2013 dan Putusan MK No 62/PUU-XI/2013, disebutkan pelaksanaan penyertaan modal negara/pemerintah pada BUMN harus melalui persetujuan DPR yang alokasinya tercantum dalam UU APBN.
Hal ini sesuai dengan konsep yuridis bahwa kekayaan BUMN merupakan keuangan negara sehingga segala bentuk pengalihan kekayaan negara di BUMN kepada pihak lain, termasuk kepada BUMN, harus mendapatkan persetujuan DPR dan dituangkan dalam UU APBN.
"Faktanya, dalam Pasal 2A PP 72/2017 diatur bahwa penyertaan modal negara kepada BUMN atau pihak lain dilakukan pemerintah tanpa melalui mekanisme APBN," ujar Redi.
Kedua, dalam Pasal 2A ayat 2 PP 72/2015 diatur 'bahwa dalam hal kekayaan negara berupa saham milik negara BUMN dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN lain sehingga sebagian besar saham dimiliki BUMN lain maka BUMN tersebut menjadi anak perusahaan BUMN'.
"Hal ini akan menjadi ladang nyata privatisasi BUMN. Misalnya BUMN A mendapat PMN ke BUMN sehingga BUMN A menjadi pemegang saham mayoritas di BUMN B. Dengan PP ini, BUMN B akan menjadi anak perusahaan BUMN A. Apabila bekas BUMN B menjadi anak perusahaan BUMN A, secara hukum perusahaan bekas BUMN B bukan lagi BUMN karena sahamnya bukan lagi milik negara," papar Redi.
Oleh sebab itu, Redi menyatakan putusan MA sulit diterima secara nalar hukum dan akan memperkokoh privatisasi BUMN. Bahkan, menurut Redi, putusan MA menjadi pintu masuk swastanisasi BUMN-BUMN di Indonesia dengan modus dimiliki oleh sesama BUMN. Ke depan apabila bekas BUMN yang menjadi anak perusahaan BUMN akan dijual, tidak perlu lagi intervensi DPR.
"Putusan MA ini tidak sesuai dengan konsep penyelenggaraan keuangan negara yang menganut checks and balances system sesuai dengan fungsi budgeting DPR sesuai UUD 1945. Putusan MA ini menjadi senjata setelah PP 72/2016 bagi kebijakan privatisasi BUMN yang kapitalistik yang tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945," pungkas Redi.
detik.com
0 Response to "MA Dinilai Tak Cermat Adili Perkara Regulasi Holdingisasi"
Posting Komentar