Jakarta - "Dan dalam hal ini kita pertama-tama teringat pada Balai Pustaka jang sedjak permulaan abad XX terus-menerus mentjetak dan menjebarkan buku-buku guna menaikkan tingkat ketjerdasan umum, termasuk buku-buku kesusasteraan. Dan selama penerbit partikelir belum sanggup menanggung risiko untuk menerbitkan buku-buku jang tebal dan mahal perongkosannja, sedang lakunja lambat seperti halnja dengan buku kesusasteraan, selama itu pula Balai Pustaka diharapkan berlangsung hidupnja," tulis HB Jassin dalam esai berjudul Sepuluh Tahun Kesusasteraan Indonesia.
Pada masa 1920-an dan 1930-an, Jassin menganggap Balai Pustaka memiliki peran besar dalam pemajuan sastra modern di Indonesia dalam kerja penerbitan buku-buku. Pengakuan mungkin mengarah ke sastra saja, tak merembet ke politik kolonial. Jassin tentu mengerti institusi bentukan pemerintah kolonial itu tak mutlak berwajah baik. Tugas penerbitan buku-buku sastra memang terbukti melimpah tapi tetap mengikutkan pendasaran politik untuk sensor, pembatasan, kontrol, dan pematuhan. Sastra pun bergerak di jalan politis.
Jassin agak mengabaikan politik saat mengajak kita memikirkan kesanggupan menanggung risiko penerbitan buku-buku sastra pada masa lalu. Penerbit-penerbit partikelir juga berperan besar meski jarang tercatat dan teringat.
Institusi penerbitan bentukan pemerintah kolonial itu dinamai Balai Pustaka sejak 1917. Kini, kita mengenang telah berusia 100 tahun. Pada saat Balai Pustaka menjalankan tugas-tugas besar berdalih pemodernan atau pemajuan di tanah jajahan, Jassin lahir untuk mengurusi sastra di Indonesia. Ia dilahirkan di Gorontalo, 31 Juli 1917. Kini, kita pun mengingat Jassin dalam hitungan 100 tahun. Biografi diri sebagai redaktur dan kritikus sastra terbentuk saat bekerja di Balai Pustaka. Pujian Jassin pada Balai Pustaka mungkin terpengaruhi akibat pekerjaan, tak melulu berdalih estetika atau ideologi sastra.
Pada 1 Februari 1940, Jassin bergerak dari Gorontalo menuju Jakarta. Ia mendatangi kantor penerbitan Balai Pustaka berbekal surat buatan Sutan Takdir Alisjahbana. Kedatangan itu menghasilkan pertemuan dan percakapan singkat antara Jassin, Sutan Takdir Alisjahbana, Kasoema Soetan Pamoentjak, dan Hidding. Jassin diterima bekerja di Balai Pustaka. Pada hari-hari awal bekerja, Jassin mendapat bimbingan Armijn Pane.
Dulu, para pengarang tenar di Indonesia bekerja di Balai Pustaka. Mereka bekerja di bawah naungan pemerintah kolonial tapi memiliki gairah memajukan sastra meski tak sehaluan dengan perintah-perintah kolonial. Di institusi bentukan pemerintah kolonial, Jassin mulai membentuk diri menjadi dokumentator dan redaktur sastra.
Balai Pustaka sebagai institusi besar memberi pikat ke Jassin. Koleksi perpustakaan di Balai Pustaka membuat Jassin meninggikan impian untuk mengumpulkan buku dan mengadakan perpustakaan sendiri. Gaji selama bekerja di Balai Pustaka digunakan untuk belanja buku-buku dibarengi ketekunan membuat ulasan atau kritik sastra. Gairah dokumentasi dan penulisan kritik sastra perlahan menguat dan menjadi jalan keutamaan bagi Jassin ketimbang berpredikat sastrawan.
Di mata para pengarang Indonesia, Jassin dianggap penggerak sastra Indonesia melalui peran sebagai redaktur dan kritikus sastra. Tulisan demi tulisan memberi rangsang ke para pengarang untuk membuat pelbagai pertimbangan dalam gubahan sastra. Perdebatan pun meriah akibat publikasi serangkaian kritik sastra: memastikan ada pemajuan sastra. Jassin pun menentukan "pemunculan" dan "pengesahan" pengarang-pengarang baru dalam mengelola majalah-majalah.
Jassin menjadikan rubrik sastra memiliki kehormatan. Kita mengingat predikat redaksi itu turut membesarkan sastra Indonesia di majalah-majalah terbitan masa 1940-an sampai 1960-an. Peran Balai Pustaka dalam sastra masih besar melalui penerbitan buku tapi gerak sastra justru menguat di majalah-majalah, di luar jangkauan politis Balai Pustaka.
Status Balai Pustaka beralih dari milik pemerintah kolonial ke pemerintah Indonesia. Sastra tetap jadi misi besar berbarengan peran menerbitkan buku-buku mengenai pertanian, pendidikan, sejarah, agama, dan biografi. Jassin pun tak lagi di Balai Pustaka. Ia menunaikan tugas-tugas besar di pelbagai penerbitan buku dan majalah. Balai Pustaka tetap terkenang dan memberi pengaruh besar tanpa harus mengabdi di institusi itu sampai mati.
Jassin mengenang, Balai Pustaka turut membentuk gagasan kebangsaan berbarengan kemauan membesarkan sastra. Ia mengenang melalui ketokohan Nus Sutan Iskandar. Jassin menulis:
"Nur Sutan Iskandar adalah satu tokoh jang terpenting dari generasi '20. Ia sangat penting bukan sadja oleh karena karangannja jang banjak, baik jang asli maupun terdjemahan dan saduran, tetapi djuga karena kedudukannja di Balai Pustaka sebagai penimbang dan orang jang memperbaiki naskah-naskah karangan jang masuk ke Balai Pustaka. Dan satu lagi jang penting, jaitu usahanja memasukkan semangat dan tjita-tjita kebangsaan dalam kantor Balai Pustaka, sedjak mula ia masuk di kantor itu tahun 1919."
Jassin pun ditulari cita-cita kebangsaan, disajikan dalam pembuatan kebijakan keredaksian dan penulisan puluhan kritik sastra yang kemudian terbukukan berjudul Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei, terbagi dalam empat jilid, terbit sejak 1954.
Di buku berjudul Bunga Rampai Kenangan pada Balai Pustaka, Jassin mengenang masa terindah saat bekerja di Balai Pustaka, sebelum pergi dan memilih menjadi redaktur di pelbagai majalah dan mendirikan pusat dokumentasi sastra. Jassin mengenang pekerjaan paling mengesankan selama di Balai Pustaka adalah "membicarakan buku-buku."
Buku-buku terbitan Balai Pustaka mesti mendapat kata pengantar dan pembicaraan dahulu untuk dikirimkan ke media cetak. Rutinitas itu menjadikan Jassin rajin menulis resensi buku dan kritik sastra. Kenangan indah sulit berlanjut saat Balai Pustaka berusia 75 tahun. Pada masa 1990-an, insitusi bersejarah itu mulai kehilangan pamor dan gairah sebagai penerbitan buku-buku sastra dan majalah.
Pada 2017, Balai Pustaka berusia seabad tapi tak lagi lakon besar dalam pemajuan penerbitan buku sastra di Indonesia. Puluhan penerbit partikelir telah melaju dan bergairah menerbitkan buku-buku sastra, memberi kesan Balai Pustaka cuma masa lalu perbukuan sastra. Orang-orang perlahan "melupakan" Balai Pustaka, tak merepotkan diri mundur ke babak-babak bersejarah pada masa lalu.
Pudar ingatan pun berlaku ke Jassin. Tokoh itu hampir terlupakan dan warisan dokumentasi sastra terlantar tanpa kepastian selamat. Kini, peringatan 100 tahun Balai Pustaka dan Jassin mirip pengumpulan serpihan-serpihan ingatan menjauh dari referensi kesusastraan masa lalu.
Bandung Mawardi kuncen Bilik Literasi, Solo
detik.com
0 Response to "Teringat Balai Pustaka"
Posting Komentar