Ironi Korupsi Opini Laporan Keuangan BPK

Jakarta - Pada hari menjelang 1 Ramadan 1438 H atau 26 Mei 2017, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap tangan tujuh orang yang diduga terlibat dalam tindak pidana korupsi terkait dengan pemberian predikat opini laporan keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.

Tujuh orang itu terdiri atas tiga orang pejabat dan staf dari BPK, dan lainnya diduga berasal dari unsur pejabat dan staf Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Mereka diduga terlibat dalam transaksi suap supaya Kemendes memperoleh predikat tertinggi atas laporan keuangan tahun 2016 yaitu Wajar Tanpa Pengecualian.

Dalam perkembangannya berdasarkan keterangan resmi KPK pada 27 Mei 2017, KPK menetapkan 4 orang tersangka, yaitu Irjen Kemendes Sugito, pejabat eselon III Kemendes Jarot Budi Prabowo, pejabat eselon I BPK Rochmadi Saptogiri, dan auditor BPK Ali Sadli.

Menurut KPK, Sugito dan Jarot diduga memberikan uang suap kepada Rochmadi dan Ali agar Kemendes memperoleh opini WTP terhadap laporan keuangan Kemendes.

Sugito dan Jarot disangka melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sementara itu, Rochmadi dan Ali disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Penangkapan dan penetapan tersangka itu tentu mengagetkan, di tengah apresiasi yang membuncah oleh status laporan keuangan WTP yang dikeluarkan oleh BPK untuk pertama kalinya terhadap laporan keuangan pemerintah pusat.

Pada 23 Mei 2017, BPK telah menyampaikan Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat tahun 2016 kepada Presiden Joko Widodo. Dalam laporannya, BPK memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian untuk pemerintah pusat.

Menurut BPK, ini merupakan prestasi, karena untuk pertama kalinya setelah 12 tahun, predikat opini WTP akhirnya diterima pemerintah. Sebelumnya, laporan keuangan pemerintah pusat selalu mendapat predikat Wajar Dengan Pengecualian.

Dalam menjalankan tugasnya melakukan pemeriksaan atas laporan keuangan lembaga negara di pusat dan daerah, sebagaimana diatur di dalam Pasal 23E ayat 1-3 UUD 1945, BPK memberikan empat jenis opini, yaitu Wajar Tanpa Pengecualian, Wajar Dengan Pengecualian, Tidak Memberikan Pendapat dan Tidak Wajar.

Opini WTP diberikan BPK dengan kriteria sistem pengendalian internal memadai dan tidak ada salah saji yang material atas pos-pos laporan keuangan. Secara keseluruhan, laporan keuangan telah menyajikan secara wajar sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan.

Sementara opini WDP diberikan dengan kriteria sistem pengendalian internal memadai. Namun, terdapat salah saji yang material pada beberapa pos laporan keuangan.

Opini Disclamier atau TMP diberikan apabila terdapat suatu nilai yang secara material tidak dapat diyakini auditor karena ada pembatasan lingkup pemeriksaan oleh manajemen sehingga auditor tidak cukup bukti dan atau sistem pengendalian internal yang sangat lemah.

Adapun opini TW diberikan jika sistem pengendalian internal tidak memadai dan terdapat salah saji pada banyak pos laporan keuangan yang material. Dengan demikian secara keseluruhan laporan keuangan tidak disajikan secara wajar sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan.

Penetapan tersangka terhadap pejabat eselon I di BPK dan Kemendes atas dugaan suap untuk memperoleh status WTP atas laporan keuangan Kemendes tentu tidak main-main, karena melibatkan pejabat tinggi. Hal ini mengkonfirmasi bahwa status WTP bukan merupakan jaminan bahwa tidak ada korupsi di lembaga terkait.

Pun demikian dengan status di bawah WTP yaitu WDP dan Disclaimer, yang belum tentu menunjukkan buruknya pengelolaan keuangan berindikasi korupsi pada lembaga pemerintahan.

Hasil pemeriksaan BPK atas 87 Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga dan satu Laporan Keuangan BUN menemukan, sebanyak 74 LKKL atau 84% memperoleh opini WTP, 8 LKKL memperoleh opini WDP dan opini Tidak Memberikan Pendapat pada 6 LKKL.

Menurut BPK, opini WDP atas 8 LKKL dan opini TMP atas 6 LKKL tidak berpengaruh secara material terhadap LKPP Tahun 2016

Enam kementerian/lembaga yang memperoleh status Disclaimer untuk laporan keuangan 2016 adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Keamanan Laut, Kementerian Pemuda dan Olahraga, Televisi Republik Indonesia, Badan Ekonomi Kreatif, dan Komnas HAM.

Dengan status Disclaimer tersebut, banyak konsekuensi yang harus diterima oleh lembaga terkait, misalnya penurunan anggaran untuk tahun anggaran berikutnya, terhambatnya remunerasi bagi pegawai dan reformasi birokrasi, dan terganggunya kredibilitas lembaga di mata publik.

Padahal, status disclaimer tidak berhubungan dengan kinerja lembaga dalam melayani publik, meskipun bisa jadi ada pengaruhnya. Contohnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan yang dikenal berkinerja sangat baik di bawah kepemimpinan Menteri Susi Pudjiastuti.

Sebagai bentuk pemeriksaan atas kinerja keuangan yang bersifat administratif, rekomendasi dari BPK atas lembaga yang statusnya WDP dan Disclaimer seharusnya lebih pada perbaikan dan pendampingan pengelolaan keuangan supaya memenuhi Standar Akuntansi Pemerintahan, dengan memperhatikan karakteristik lembaga terperiksa.

Hal ini karena kesalahan yang sifatnya administratif bisa dikarenakan diantaranya oleh keterbatasan kemampuan staf, ketidaktahuan staf atas peraturan yang terkait dengan pengelolaan anggaran, tidak efektifnya sosialisasi atas peraturan/kebijakan keuangan, ketidakpaduan aplikasi sistem keuangan dan hal-hal lain yang sifatnya situasional dan kontekstual sesuai dengan karakteristik lembaga terperiksa.

Kecuali, jika ada kesengajaan dalam melakukan kesalahan administrasi untuk niat dan tujuan mencari keuntungan tertentu bagi pribadi/kelompok.

Dengan demikian, status WTP tidak bisa merefleksikan bahwa sebuah lembaga pemerintahan telah bebas dari praktik korupsi dan telah melakukan pengelolaan keuangan secara paripurna. Pun sebaliknya dengan status di bawah WTP, belum tentu lantas ada indikasi tindak pidana korupsi dan kinerjanya buruk.

Dengan terbongkarnya kasus dugaan suap terhadap pejabat BPK, Presiden Jokowi dan pimpinan BPK harus memerintahkan pembenahan menyeluruh atas BPK untuk menegakkan integritas auditor dan supaya proses dan pelaksanaan pemeriksaan keuangan lembaga pemerintahan menjadi lebih transparan, partisipatif, akuntabel, dan mandiri.

Hal ini agar status WTP tidak hanya menjadi alat pencitraan yang membuka peluang terjadinya penyalahgunaan wewenang. Akan tetapi, pemeriksaan oleh BPK dapat secara sinergis menjadi mekanisme yang efektif untuk mencegah tindak pidana korupsi dan meningkatkan pelayanan yang paripurna kepada publik.

Mimin Dwi Hartono Kolumnis Isu HAM dan Kebijakan Publik, Alumnus Universitas Brandeis USA

detik.com

loading...

Related Posts :

0 Response to "Ironi Korupsi Opini Laporan Keuangan BPK"

Posting Komentar

loading...