'Kilau Mutiara' dari Afrika Utara

Essaouira - Perjalanan mengecap kehidupan muslim di belahan dunia berbeda, mengantarkan tim Jazirah Islam ke Gurun Sahara. Padang pasir terbesar di dunia.

Sahara sendiri memiliki arti gurun pasir dalam bahasa Arab. Dan Sahara yang sedang dijelajahi oleh tim Jazirah Islam ini adalah gurun pasir yang menjadi bagian dari desa kecil Merzouga, di tenggara Maroko. Gurun pasir yang menjadi bagian dari sejarah penyebaran Islam oleh Rasulullah SAW.

Sahara menjadi daya tarik utama wisatawan yang datang ke Maroko. Untuk mencapai gurun ini, harus berkendara via darat sejauh 12 jam dari kota Marrakech. Karena wilayah ini memang cukup jauh dari tengah kota.

Foto: Gurun Sahara di Maroko

Sahara Merzouga memiliki gundukan gurun pasir halus setinggi 350 meter, dan menjadikan hamparan gurun pasir ini yang terindah di Maroko.

Sepanjang gurun pasir ini membentang, jarang sekali menemukan orang lain yang berjalan kaki atau mengendarai unta seperti kami. Padahal, gurun pasir Sahara merupakan rumah bagi suku nomaden Berber, atau juga dikenal dengan Suku Amazigh, yang sudah berumur ratusan abad.

'Kilau Mutiara' dari Afrika UtaraFoto: Gurun Sahara di Maroko

Namun kini Suku Berber, suku asli Afrika Utara sudah mulai langka. Sebagian sudah berasimilasi dengan bangsa Arab dan menjadi penduduk Maroko saat ini.

Beruntung, tim Jazirah Islam masih bisa bertemu dan ditemani oleh Muhammed, seorang pemuda berdarah Berber. Muhammed, bekerja sebagai pawang unta, yang bertugas mengantar para turis seperti kami untuk berkeliling gurun pasir.

Dua jam, adalah waktu yang harus kami tempuh untuk mencapai tenda Suku Berber, dengan mengendarai unta. Tenda di antara gundukan pasir gurun Sahara, menjadi tujuan. Tenda khas Suku Berber ini menjadi tempat istirahat bagi turis atau wisatawan yang berkunjung ke Gurun Sahara.

Fatimah, muslimah Suku Berber adalah tuan rumah yang dengan hangat menyambut rombongan kami. Ia, beserta anak dan adiknya, sudah lima tahun terakhir menetap di tempat ini.., 6 kilometer dari pinggir Desa Merzouga.

'Kilau Mutiara' dari Afrika UtaraFoto: Fatima, muslimah Suku Berber Maroko. Sehari-hari Fatima membuat aghroum, roti pipih bundar seperti pizza bila di Eropa

Di bawah tenda dari karung goni, kami melepas lelah sesaat. Berteduh dari matahari yang cukup terik, sambil berkenalan lebih dekat dengan Suku Berber, dari Afrika Utara, etnis yang mendapat pengaruh Islam dari kedatangan bangsa Arab pada tahun 642 Masehi di tanah Maghribi.

Setelah melepas lelah, saatnya mengolah kuliner khas Suku Amazigh alias Berber. Dapur, sekaligus tempat beristirahat Fatimah dan keluarga di malam hari sangat sederhana, hanya bilik dari bambu dan berselimutkan karung goni.

'Kilau Mutiara' dari Afrika UtaraFoto: Fatima, muslimah Suku Berber Maroko. Sehari-hari Fatima membuat aghroum, roti pipih bundar seperti pizza bila di Eropa

Fatimah kemudian mengajak membuat roti Aghroum, sejenis pizza jika di Eropa. Layaknya membuat adonan roti, tepung terigu diolah hingga menjadi kalis, sebelum diberi berbagai bahan pendamping.

Aghroum, punya artian roti dalam bahasa Amazigh. Aghroum merupakan makanan sehari-hari Suku Berber. Mereka mengolahnya dengan bahan-bahan yang mudah didapat, tanpa bumbu tambahan seperti garam dan gula.

Tungku pembakarannya pun unik dan masih sangat tradisional. Setelah api dinyalakan, adonan langsung dimasukkan ke dalam tungku alami ini. Adonan aghroum dibakar selama kurang lebih 10 menit di setiap sisinya. Saat memasak, aghroum yang diletakkan di atas batu-batu kecil ini harus sering di putar agar terkena panas merata.

'Kilau Mutiara' dari Afrika UtaraFoto: Fatima, muslimah Suku Berber Maroko. Sehari-hari Fatima membuat aghroum, roti pipih bundar seperti pizza bila di Eropa

Saat menunggu aghroum matang, tiba-tiba Fatima bersalawat. Wanita Suku Berber punya ciri khas untuk menunjukkan rasa bahagia, yaitu membuat suara khas dengan lidah mereka. Tradisi ini disebut ululasi, simbol perayaan atau menghormati seseorang, di budaya Afrika dan Timur Tengah.

Ululasi dikenal dengan nama zagharid dalam bahasa Arab, dan telah dipraktekkan sejak zaman Mesir kuno. Di Maroko, zagharid banyak dilakukan oleh para wanita, dalam perayaan pernikahan.

Seperti yang dilakukan oleh Fatimah, melantunkan salawat dalam bahasa Amazigh dan diakhiri dengan zagharid, khas Maroko

Sambil menyantap aghroum, Fatimah bercerita bagaimana ia masih bertahan di tengah segala keterbatasan.

"Saya ingin hidup di sini, tidak mau pindah ke kota. Karena udaranya segar, saya sudah terbiasa dengan kehidupan seperti ini. Saya bisa tidur nyenyak, tenda ini juga terasa nyaman. Ya saya hanya mengharapkan kebahagiaan dari Allah," tutur Fatimah.

"Saya jarang sekali ke kota. Saya tidur di sini, makan di sini, saya menjalankan hidup di sini. Ramadan juga kami menyiapkan makan sahur dengan roti dan zaitun. Ramadan yaa panas sekali. Tapi ya segala puji bagi Allah atas semuanya," imbuhnya.

Maha suci Allah, Tuhan Maha Pemberi Rezeki. Fatimah dan keluarga selalu dicukupkan, walaupun harus tinggal di tengah gurun pasir yang terik. Dengan keterbatasan air, serta makanan, tidak menghalangi Fatimah untuk menjamu tamu, saudara seiman yang datang jauh dari belahan bumi berbeda.

Saatnya pamit, dan kembali menyusuri gurun pasir Merzouga. Kami harus mengendarai unta dua jam lagi untuk sampai di titik berikutnya.

Hari berganti, tim Jazirah Islam melanjutkan perjalanan ke kota angin, Essaouira. Essaouira adalah sebuah kota di pinggir laut, dan terletak di dalam sebuah benteng sejak Abad ke-18. Sejuk, kuno, dan eksotis.

Kota yang juga dikenal dengan nama Mogador dalam bahasa Berber ini, punya komoditas unik yang hanya dimiliki Maroko, dan tak ada di negara lain.

Essaouira, merupakan daerah endemik penghasil argan, di Afrika Utara. Argan, adalah buah dari pohon Argania, salah satu jenis pohon tertua di dunia.

'Kilau Mutiara' dari Afrika UtaraFoto: Pohon argan, hanya tumbuh di barat daya Maroko, antara Kota Essaouira dan Agadir

Pohon ini hanya tumbuh di barat daya Maroko, antara Kota Essaouira dan Agadir. Dari biji buah argan, dihasilkan minyak argan, yang kerap disebut sebagai emas cair. Minyak argan sejak ratusan tahun lalu digunakan untuk obat segala gangguan pada kulit, mulai dari infeksi kulit, gigitan serangga, atau ruam.

Minyak argan kaya akan vitamin A, vitamin E, antioksidan, asam lemak omega 6 dan asam linoleat. Minyak argan inilah yang sedang diekstrak oleh para wanita Berber di pasar dalam Medina Essaouira.

Argan bahkan masuk ke dalam daftar biosphere reserve atau konservasi keanekaragaman hayati oleh lembaga dunia Unesco di tahun 1998. Begitu banyak nutrisi dalam buah super ini bahkan kambing pun berusaha memanjat pohonnya.

'Kilau Mutiara' dari Afrika UtaraFoto: Perempuan Essaouira mengolah minyak biji argan

Di Maroko, kambing gemar memanjat pohon argan, untuk mencari buah dan daunnya.Tak hanya satu ekor kambing, mereka membawa kawanannya untuk menikmati argan bersama-sama. Pemandangan ini menjadi hal langka yang ditunggu-tunggu wisatawan dunia.

Minyak argan menjadi oleh-oleh wajib dari Maroko. Karena saat keluar dari maroko, harga minyak argan sangat mahal, bisa berbeda hingga 10 kali lipat! Minyak argan dapat dinikmati dalam bentuk dari minyak pijat, tonik rambut, minyak untuk wajah, hingga minyak untuk memasak.

'Kilau Mutiara' dari Afrika UtaraFoto: Perempuan Essaouira mengolah minyak biji argan

Kunjungan ke Essaouira kali ini sungguh berkesan, melihat lebih dekat kehidupan muslim Maroko, di kota pinggir laut Atlantik.

Saksikan kisah muslim Suku Berber dari Afrika Utara, hanya dalam program "Jazirah Islam" di TRANS 7 pada Senin 5 Juni 2017 pukul 15.00 WIB.

detik.com

loading...

Related Posts :

0 Response to "'Kilau Mutiara' dari Afrika Utara"

Posting Komentar

loading...