Jakarta - Polemik apakah KPK bagian eksekutif atau yudikatif kembali mengemuka saat dibentuk pansus angket KPK oleh DPR. Yusril Ihza Mahendra menyebut KPK bagian dari eksekutif sehingga bisa dikenakan hak angket. Tapi pakar hukum lain menyatakan berbeda.
Selidik punya selidik, perdebatan terkait polemik itu telah dikupas 11 tahun silam di Mahkamah Konstitusi. Hal itu termuat dalam pertimbangan putusan nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 yang dimohonkan oleh Mulyana W Kusumah.
"Dalam perkembangan sistem ketatanegaraan saat ini, sebagaimana tercermin dalam ketentuan hukum tata negara positif di banyak negara, terutama sejak abad ke-20, keberadaan komisi-komisi negara semacam KPKtelah merupakan suatu hal yang lazim," demikian pertimbangan MK yang dikutip detikcom dari website MK, Jumat.
Menurut MK, doktrin klasik tentang pemisahan kekuasaan negara ke dalam tiga cabang kekuasaan kini telah jauh berkembang. Antara lain ditandai oleh diadopsinya pelembagaan komisi-komisi negara yang di beberapa negara bahkan bersifat kuasi lembaga negara yang diberi kewenangan melaksanakan fungsi-fungsi kekuasaan negara.
"Justru ketentuan dalam Pasal 20 UU KPK, yang oleh Pemohon II didalilkan sebagai ketentuan yang inkonstitusional, secara umum mencerminkan ciri-ciri komisi-komisi negara dimaksud," ujar MK.
Di samping itu, di satu pihak, keberadaan suatu lembaga negara untuk dapat disebut sebagai lembaga negara tidaklah selalu harus dibentuk atas perintah atau disebut dalam UUD, melainkan juga dapat dibentuk atas perintah undang-undang atau bahkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Di pihak lain, disebut atau diaturnya suatu lembaga negara dalam UUD tidak selalu menunjukkan kualifikasi hukum bahwa lembaga negara itu memiliki derajat kedudukan lebih penting daripada lembaga-lembaga negara lain yang dibentuk bukan atas perintah undang-undang dasar.
Demikian pula, hanya karena suatu lembaga negara diatur atau disebut dalam UUD tidak juga secara otomatis menunjukkan bahwa lembaga negara dimaksud sederajat dengan lembaga negara lain yang sama-sama diatur atau disebut dalam UUD.
"KPK dibentuk dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD1945, karena pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal," ujar MK.
"Sehingga pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional. Sementara itu, lembaga yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi, sehingga pembentukan lembaga seperti KPK dapat dianggap penting secara konstitusional dan termasuk lembaga yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24 Ayat UUD 1945," papar MK.
Soal independensi KPK, MK menjelaskan dalam pertimbangan selanjutnya. Pasal 3 UU KPK yang berbunyi:
Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun.
Pasal itu dinilai tidak multitafsir dan sudah tepat.
"Rumusan dalam Pasal 3 UU KPK itu sendiri telah tidak memberikan kemungkinan adanya penafsiran lain selain yang terumuskan dalam ketentuan pasal dimaksud, yaitu bahwa independensi dan bebasnya KPK dari pengaruh kekuasaan mana pun adalah dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Tidak terdapat persoalan konstitusionalitas dalam rumusan Pasal 3 UU KPK tersebut," kata MK menegaskan.
MA menyatakan dengan tegas bahwa independensi dan bebasnya KPK dari pengaruh kekuasaan mana pun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya justru menjadi penting agar tidak terdapat keragu-raguan dalam diri pejabat KPK.
"Sebab, sesuai dengan ketentuan Pasal 11 UU KPK, pihak-pihak yang paling potensial untuk diselidiki, disidik, atau dituntut oleh KPK karena tindak pidana korupsi terutama adalah aparat penegak hukum atau penyelenggara negara. Dengan kata lain, pihak-pihak yang paling potensial untuk diselidiki, disidik, atau dituntut oleh KPK karena tindak pidana korupsi itu adalah pihak-pihak yang memegang atau melaksanakan kekuasaan negara," terang MK.
Pendapat MK di atas senada dengan keterangan ahli dari Universitas Padjadjaran yaitu Prof Dr Komariah Emong Sapardjaja. Menurut Komariah, diundangkannya UU KPK tidaklah terlepas dari politik hukum bangsa dan negara Indonesia untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi dengan lebih baik.
Lahirnya UU KPK, selain karena amanat UU, juga karena berubahnya paradigma sifat melawan hukum dari tindak pidana korupsi, yaitu sebagai 'pelanggaran hak-hak sosial dan pelanggaran hak-hak ekonomi masyarakat secara luas'. Keberadaan KPK, yang secara tegas diatur dalam UU KPK, adalah sebagai bentuk politik hukum pemberantasan korupsi di tanah air.
"KPK adalah independent agency, yang sering diklasifikasikan sebagai komisi negara. Komisi negara independen adalah organ negara yang diidealkan independen dan karenanya berada di luar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, namun justru mempunyai fungsi 'campur sari' ketiganya. Setelah menguraikan perbandingan dengan negara-negara lain dan pendapat-pendapat sejumlah sarjana tentang ciri-ciri komisi negara independen, ahli berpendapat bahwa KPK memenuhi ciri-ciri atau kriteria demikian. Oleh karena itu, keberadaan KPK bukan hanya tidak berada di luar sistem ketatanegaraan melainkan justru secara yuridis ditempatkan dalam sistem ketatanegaraan," kata Komariah.
detik.com
0 Response to "KPK Bagian Eksekutif atau Yudikatif? Ini Jawaban MK"
Posting Komentar