Penyamaan Hari Libur Sekolah

Jakarta - Usulan kebijakan sekolah lima hari oleh Mendikbud Muhadjir Effendi telah menuai banyak kritik, terutama dari kalangan nahdliyin yang menganggap kebijakan tersebut akan mematikan eksistensi madrasah diniyyah. Madrasah diniyyah yang dikelola Lembaga Pendidikan Maarif NU memang berlangsung sore hari. Jika anak-anak di sekolah sampai jam 15.30-16.00, tentu tidak ada lagi anak yang belajar agama di madin.

Berbagai kecurigaan karena sentimen organisasi pun menguat mengingat latar belakang Pak Menteri yang Muhammadiyah. Suatu kondisi yang justru akan sangat merugikan kohesivitas Indonesia jika dua ormas Islam terbesar di Indonesia dihadapkan hanya karena "full day school".

Di pedesaan, madrasah diniyyah adalah kultur, dan lazim disebut sekolah sore atau sekolah Arab. SD, SMP, SMA disebut sekolah pagi. Masyarakat secara swadaya menjaga eksistensi madin agar tidak tergerus paradigma pendidikan formal yang kian menghamba pada ijazah dan bursa kerja. Tujuan madin mungkin sederhana, membekali anak dengan ilmu keislaman yang akan mereka terapkan dalam ibadah keseharian.

Guru madin menjadi "profesi pengabdian" yang turun temurun. Regenerasinya lahir semata karena niat berbakti pada orangtua dan kiai yang sebelumnya berjuang di madin. Saya mendengar cerita guru madin yang hanya diberi bisyarah Rp 5000 tiap berangkat mengajar. Seorang kawan alumni pesantren yang juga guru madin bahkan memilih untuk menjadi buruh panen padi ketika musim panen tiba, karena dalam sehari dia bisa mendapatkan penghasilan Rp 100-150 ribu.

Hanya orang-orang "bebal" yang memilih mengabdikan diri untuk menjadi guru madin. Alternatif pekerjaan yang mereka pilih menjadi terbatas. Di pedesaan, guru madin itu di pagi hari menjadi petani, pedagang, dan yang selepas zuhur pulang untuk kemudian mengajar di madin. Nuansa asketisme seperti inilah hakikat pendidikan

Menyamakan Hari Libur

Pangkal persoalan kontroversi FDS sebetulnya sederhana, yaitu perbedaan hari libur. Sekolah pagi mengambil Minggu sebagai hari libur. Sementara madin libur hari Jumat, karena mengikuti kalender Hijriah, di mana Jumat adalah hari raya mingguan umat Islam. Akibatnya anak-anak memiliki dua hari libur, yaitu Jumat sore dan Minggu pagi.

Hal itu baru hari libur reguler, belum hari libur nasional yang jatuh di hari aktif sekolah. Sekolah pagi akan mengikuti hari libur ini, namun madin hanya ikut libur pada hari libur nasional yang merupakan hari besar umat Islam.

Perbedaan hari libur berdampak pada madin yang dianggap sebagai sekolah kelas dua. Pada momen tertentu sekolah pagi menggunakan hari Minggu untuk kegiatan, seperti PLK dan perkemahan. Situasi tersebut membuat anak memilih tidak berangkat sekolah sore karena mengikuti kegiatan di sekolah pagi.

Apalagi madin lebih longgar dalam persoalan presensi murid. Di masa sekarang, melihat anak masih mau belajar agama di madin sudah menerbitkan kebahagiaan luar biasa. Peraturan izin yang ketat dikhawatirkan membuat anak justru tidak mau lagi sekolah.

Tujuan Mendikbud ketika ingin merangkul madin dapat dilakukan dengan menyamakan hari libur. Entah yang dipilih Jumat atau Minggu, pada intinya adalah ada satu hari di mana anak terbebas dari ruang kelas, baik itu sekolah pagi atau sore. Diperlukan sikap legawa untuk mengalah salah satu.

Menurut hemat saya, NU bisa "mengalah" dengan menjadikan hari Minggu sebagai hari libur. Secara sosial, hari libur Minggu telah berterima di masyarakat. Di perkotaan acara pernikahan banyak dilangsungkan di hari Minggu. Di MTs dan MA pun banyak yang bisa beradaptasi untuk libur di hari Minggu.

Hari sekolah biarkan berjalan seperti sekarang, Senin sampai Sabtu. Anak-anak pulang dari sekolah pagi jam 13.30, nanti jam 14.30 bisa mengikuti sekolah sore. Jam sekolah pagi bahkan bisa berkurang seandainya pendidikan agama Islam diserahkan kepada madin dengan nilai Pendidikan Agama Islam diambilkan dari nilai madin.

Namun, ide tersebut perlu dikaji ulang karena bisa berdampak kecemburuan profesi. Madin dikelola oleh ustaz dan kiai yang mendasarkan pada pengabdian terhadap Islam. Sementara dalam penilaian sekolah pagi, guru dibekali seperangkat Kompetensi Inti, Kompetensi Dasar, Indikator, Kriteria Ketuntasan Minimal yang bukan merupakan kultur madin.

Kecemburuan sosial juga rentan terjadi karena guru madin tidak mendapat hak sebagaimana guru sekolah pagi. Mereka mungkin berpikir, menjadi guru sekolah pagi itu enak, mendapat gaji dan tunjangan dari negara, tapi nilai PAI justru meminta dari guru madin yang bahkan sering tombok untuk operasional lembaga pendidikannya.

Dengan adanya hari Minggu di mana anak benar-benar libur, kegiatan lain yang diharapkan untuk memperkuat hubungan keluarga dan penumbuhan karakter dapat dilakukan dengan maksimal. Keluarga yang ingin liburan ke luar kota di hari Minggu tidak perlu tergesa-gesa pulang karena anaknya sore hari akan belajar di madin.

Junaidi Abdul Munif Pengurus Lembaga Ta'lif wan Nasyr PCNU Kota Semarang

detik.com

loading...

Related Posts :

0 Response to "Penyamaan Hari Libur Sekolah"

Posting Komentar

loading...