Jakarta - Kita sering jengkel melihat panggung pemberantasan korupsi. Sebenarnya jengkel dan gembira silih berganti. Jengkel, gembira, jengkel, gembira, jengkel. Kita jengkel melihat orang yang kita duga korup, terus-menerus bertindak korup, tanpa ada yang menyentuhnya. Sesekali tampak ada penyidik yang mengendus jejak korupnya, tapi ia selalu lolos. Kita jengkel, kenapa orang ini tak kunjung ditangkap.
Untunglah pada akhirnya kita bisa bertepuk tangan. KPK menetapkannya sebagai tersangka korupsi. Akhirnya keadilan ditegakkan, kata kita. Tapi itu biasanya tak berumur lama. Dengan gugatan praperadilan, status tersangka itu bisa digugurkan. Atau, kalau pun akhirnya ia diadili dan dihukum, vonisnya sangat ringan. Eh, sudah begitu, ia dengan mudah dapat remisi. Bahkan ada yang dapat grasi. Sementara itu di penjara ia bisa mendapat berbagai kemudahan.
Banyak orang bergembira kalau KPK melakukan OTT, atau menetapkan tersangka korupsi. Saya tidak terlalu gembira dengan hal itu. Di satu sisi, OTT, atau aksi KPK secara umum menunjukkan adanya kemajuan dalam proses penyelidikan perkara. Dengan berbagai wewenang ekstra yang dimiliki KPK seperti wewenang untuk melakukan penyadapan, KPK bisa membuka kasus yang mungkin tak terjangkau oleh lembaga lain. KPK adalah penyegaran dalam penindakan korupsi.
Tapi fakta itu punya sisi lain, yaitu bahwa korupsi masih terus berlangsung. Koruptor ternyata tidak takut pada KPK. Kenapa? Mungkin karena peluang untuk lolos sangat besar. Banyak koruptor yang tertangkap, tapi yang lolos lebih banyak lagi. Para koruptor tahu soal itu. Maka, mereka berani ambil risiko. Toh, kalau pun tertangkap, ada banyak cara untuk bisa lolos.
Upaya pemberantasan korupsi kita masih terbatas pada peran penindakan oleh KPK. Lembaga penegak hukum lain masih korup. Kepolisian, kejaksaan, pengadilan, sampai ke MA, masih korup. Nyatanya, masih banyak aparat di lembaga-lembaga itu yang dicokok oleh KPK. Dalam hal penindakan saja KPK boleh dibilang berjalan sendiri.
Dalam hal pengawasan, kita masih sangat kedodoran. Lembaga audit seperti BPK masih dipenuhi oleh auditor-auditor korup yang sering jadi pasien KPK juga. Lembaga-lembaga inspektorat juga tak jauh berbeda. Tak jarang mereka menjadi bagian dari tindakan korup, dan berperan menutupi jejaknya.
Suka atau tidak, kita harus mengakui adanya ilusi sesat, seolah kita sedang memberantas korupsi dengan KPK. Tidak. Kita tidak sedang memberantas korupsi. Ini hanyalah panggung balap, adu cepat atau adu cerdik, antara KPK dengan koruptor. Kita juga berilusi seolah KPK menang. Tidak. Ingat, KPK hanya sanggup menindak sebagian kecil saja. Korupsi yang kita hadapi jauh lebih besar dari yang bisa ditangani KPK.
Kita terjebak pada ilusi itu. Kita ibarat orang yang sakit kepala, lalu merasa nyaman setelah minum paracetamol. Kita mengira kita sudah sembuh. Padahal kita hanya menghilangkan rasa sakit secara sementara. Penyakitnya masih ada.
Ini adalah sebuah kepastian. Bahwa memberantas korupsi tidak mungkin dilakukan tanpa membenahi lembaga-lembaga penegak hukum. Juga tidak mungkin dilakukan tanpa membenahi birokrasi. Tak kalah pentingnya, membenahi sistem dan pelaku politik. Ingat, pelaku korupsi itu sebagian datangnya dari birokrasi, sebagian lainnya adalah para politikus.
Kenapa KPK bisa menjadi lembaga yang kuat dan berwibawa? Pertama, karena ia dilindungi oleh undang-undang. Kedua, ia dipimpin oleh orang-orang yang berintegritas. Kita tahu bahwa seleksi terhadap para pimpinan KPK sangat ketat, melibatkan tokoh-tokoh berintegritas tinggi sebagai anggota tim seleksi.
Pertanyaan sederhana, kenapa hal itu tidak bisa diterapkan untuk pimpinan lembaga penegak hukum lain, seperti Kapolri, Jaksa Agung, dan Ketua MA? Kita harus paham bahwa lembaga-lembaga lain tidak diperlakukan seperti KPK. Alasannya klise, karena aturannya berbeda. Kalau begitu, kenapa kita tidak ubah aturannya?
Jawaban yang tidak kalah klise adalah, proses-proses politik masih sangat berperan dalam penentuan pemimpin lembaga-lembaga itu. Jaksa Agung, misalnya, dipilih oleh Presiden Joko Widodo dari orang partai. Jabatan-jabatan penting ditentukan berdasar kepentingan politik, baik kepentingan presiden maupun pihak-pihak lain.
Demikian pula, kenapa kita tidak melakukan seleksi ketat terhadap calon kepala daerah? Kenapa anak atau istri koruptor masih bisa terpilih jadi kepala daerah, lalu mengulangi perilaku korup orang tua atau suaminya? Kenapa bahkan terpidana korupsi masih bisa mencalonkan diri?
Jawaban akhir dari rentetan pertanyaan itu adalah, karena kita sebagai bangsa tidak terlalu serius memberantas korupsi. Sebagian besar politikus kita korup, dan masih ingin terus mempertahankan iklim korup. Aparat penegak hukum pun begitu. Bagaimana dengan rakyat?
Rakyat kita belum siap dan belum nyaman dengan demokrasi. Sebagian masih memimpikan sistem lain. Sebagian memaknai demokrasi itu secara sesat, bahwa pemimpin harus berasal dari golongan mayoritas. Padahal seharusnya pemimpin diambil dari golongan berintegritas, meski ia secara agama atau etnis adalah golongan minoritas. Sebagian lagi masih sangat korup. Mereka mau menukar suara penentu di tangan mereka, dengan sejumlah uang yang sebenarnya dirampas dari tangan mereka melalui korupsi oleh para politikus.
KPK masih sendiri, di tengah penegak hukum, pengawas, politikus, dan bahkan rakyat yang korup.
Hasanudin Abdurakhman cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia
detik.com
0 Response to "KPK Berjalan Sendiri"
Posting Komentar