Pengusaha Gugat UU 32/2009, Walhi: Ini Ancaman Kehidupan Rakyat

Jakarta - Sejumlah pasal 'sakti' dalam UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup digugat ke Mahkamah Konstitusi. Padahal, pasal-pasal itu kerap digunakan negara untuk menyeret pembakar hutan ke pengadilan.

Salah satu pasal yang digugat adalah Pasal 88 atau dikenal dengan 'Pasal Strict Liability' yang berbunyi:

Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.

Judicial review itu diajukan oleh Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia dengan menyerahkan kuasa kepada Refly Harun.

"Gugatan judicial review yang diajukan oleh kekuatan korporasi ini bukan hanya berbahaya bagi lingkungan hidup, tetapi juga berbahaya karena mengancam keselamatan hidup rakyat, bukan hanya generasi hari ini, tetapi juga generasi yang akan datang," kata Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Nur Hidayati dalam siaran pers yang diterima detikcom, Senin.

Menurut Walhi, UU 32/2009 sesungguhnya berpedoman pada konstitusi, karena salah satu UU yang sangat progressif untuk melindungi lingkungan hidup dan keselamatan rakyat. UU itu meletakkan hal yang paling fundamental, bahwa hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat sebagai hak asasi, sebagai hak konstitusional warga negara dan hak asasi manusia.

Oleh sebab itu, Walhi mengutuk upaya JR yang dilakukan konsorsium pengusaha di bidang kehutanan itu.

"Apa yang dilakukan oleh kekuatan modal ini harus dilihat sebagai upaya sistematis korporasi skala besar melawan konstitusi dan UU. Korporasi terus berupaya melemahkan negara dan supremasi hukum melalui berbagai upaya, termasuk judicial review yang dilakukan oleh asosiasi pengusaha hutan dan perkebunan skala besar ini," ucap Nur Hidayati menegaskan.

Selain melalui judicial review ini, korporasi juga terus melakukan manuver melawan regulasi, bahkan secara politik. Saat ini korporasi ini juga mendorong RUU Perkelapasawitan.

"Sambil terus mempengaruhi opini publik dan menggeser problem kebakaran hutan dan lahan gambut kepada masyarakat adat dan lokal, dan mengklaim bahwa perkebunan sawit dan kebun kayu skala besar bukan penyebab deforestasi," cetus Nur Hidayati.

Kini, menurut Walhi, korporasi mencoba membangun logika hukum bahwa mereka yang dilanggar hak-haknya dengan membiaskan entitas korporasi skala besar sama dengan warga negara.

"Padahal sesungguhnya mereka lah aktor yang paling bertanggungjawab atas pelanggaran hak asasi manusia dalam peristiwa kebakaran hutan dan ekosistem rawa gambut. Praktik investasi yang selama ini dilakukan oleh kekuatan korporasi inilah yang justru banyak melanggar hak-hak dasar warga negara, merampas hak asasi manusia dan bahkan merampas hak lingkungan hidup itu sendiri," tegas Nur Hidayati.

Walhi mengajak seluruh warga negara melawan lupa atas kejahatan lingkungan dan kemanusiaan yang telah dilakukan oleh kekuatan korporasi dalam kurun waktu yang sangat panjang. Pembakaran hutan dan ekosistem rawa gambut yang mengakibatkan kerugian tidak terhingga, bahkan hilangnya hak hidup rakyat dan makhluk hidup lainnya juga penghancuran ekonomi, sosial dan budaya masyarakat.

Data WALHI menunjukkan sebagian besar titik api berada di wilayah konsesi perusahaan, setidaknya dalam peristiwa karhutla tahun 2015.

"Seluruh elemen bangsa hendaknya menyadari bahwa judicial review yang dilakukan oleh korporasi ini adalah upaya sistematis melawan perintah konstitusi dan UU dan upaya menghindari hukum dalam bisnis yang mereka lakukan," papar Nur Hidayati.

Walhi meminta Presiden, aparat penegak hukum dan juga MK --sebagai pengawal konstitusi--, untuk meletakkan konstitusi negara kita sebagai landasan bagi perlindungan terhadap hak asasi warga negara untuk mendapatkan hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat.

"Kami juga mengingatkan Presiden, aparat penegak hukum dan lembaga peradilan agar tidak ragu untuk terus membawa kasus kejahatan korporasi ke ranah hukum sesuai Konstitusi dan UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup," pungkas Nur Hidayati.

APHI dan GAPKI meminta MK memberikan tafsir bersyarat terhadap pasal 88 itu. Sehingga berbunyi:

Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi sepanjang kerugian tersebut disebabkan oleh orang yang bersangkutan.

detik.com

loading...

Related Posts :

0 Response to "Pengusaha Gugat UU 32/2009, Walhi: Ini Ancaman Kehidupan Rakyat"

Posting Komentar

loading...