Bung Karno Gali Pancasila dari Penjara Banceuy ke Ende

Jakarta - Pancasila, yang kini merupakan dasar negara Indonesia, bukan langsung jadi hanya semalam. Presiden pertama RI Sukarno sebagai penggali Pancasila telah lama merenungkan tentang dasar Indonesia merdeka.

Bung Karno baru mendapat kesempatan untuk menyampaikan pemikirannya itu dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 1 Juni 1945. Tetapi rupanya apa yang dia sampaikan telah disusun sejak 16 tahun sebelumnya.

"Aku telah 16 tahun mempersiapkan apa yang hendak kukatakan. Dalam 'kuburanku' yang gelap di Banceuy, prinsip-prinsip yang akan menjadi dasar dari republik sudah mulai tampak dalam pikiranku," tutur Bung Karno kepada Cindy Adams, yang kemudian ditulis dalam buku 'Penyambung Lidah Rakyat Indonesia'.

Sukarno dan sejumlah rekannya digiring polisi Belanda ke Penjara Banceuy pada Desember 1929. Mereka ditangkap karena telah mendirikan Partai Nasionalis Indonesia yang diketuai oleh Sukarno.

Setelah itu Sukarno dibawa ke pengadilan hingga akhirnya masuk ke Penjara Sukamiskin. Di pengadilan itulah dia membacakan pleidoi yang terkenal itu: 'Indonesia Menggugat'.

"Kami adalah menyerahkan segenap raga dengan seridho-ridhonya kepada tanah air dan bangsa, juga kami adalah menyerahkan segenap jiwa kepada Ibu Indonesia dengan seikhlas-ikhlasnya hati. Juga kami adalah mengabdi kepada satu ideal yang suci dan luhur, juga kami adalah berusaha ikut mengembalikan haknya tanah air dan bangsa atas perikehidupan yang merdeka. Tiga ratus tahun, ya walau seribu tahun pun, tidaklah bisa menghilangkan haknya negeri Indonesia dan rakyat Indonesia atas kemerdekaan itu," ungkap Sukarno seperti dikutip dalam buku 'Panca Azimat Revolusi jilid I' yang disusun Iwan Siswo tahun 2014.

Ketika itu belum ada ejaan yang disempurnakan. detikcom mengutip tulisan tersebut dan menyesuaikannya dengan ejaan yang disempurnakan.

Tulisan itu cukup tebal dan menjabarkan berbagai hal, termasuk pemikiran para tokoh dunia. Sukarno juga bercerita bagaimana imperialisme dan kapitalisme masuk ke Indonesia sejak 300 tahun lamanya.

Pada tahun 1933, Sukarno kemudian menulis buku 'Mencapai Indonesia Merdeka'. Di awal tulisannya itu, Sukarno menjabarkan tentang penyebab Indonesia belum merdeka.

"Imperialisme raksasa itulah yang kini menggetarkan bumi Indonesia dengan jejaknya yang seberat gempa, menggetarkan udara Indonesia dengan guruh suaranya yang sebagai guntur, --mengaut-ngaut di padang kerezekian negeri Indonesia dan rakyat Indonesia," kata Sukarno seperti dikutip dari buku yang sama.

Sukarno juga menjabarkan data nilai ekspor dari tanah Indonesia yang mencapai Rp 1,5 miliar di tahun 1930-an. Ketika itu pula Sukarno telah mengerucutkan dasar Indonesia merdeka yakni sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi.

"Partai pelopor harus dari kini mendidik massa itu ke dalam 'praktiknya' sosio-demokrasi dan sosio-nasionalisme, 'menyediakan' massa untuk laksananya janji sosio-demokrasi dan sosio-nasionalisme. Partai pelopor harus dari kini sudah menebar-nebarkan benih kesamarata-samarasaan di dalam kalbunya massa, menebar-nebar pula benih 'gotong-royong' di dalam hatinya massa," kata Bung Karno.

Soal sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi kemudian dia sampaikan lagi di pidatonya pada 1 Juni 1945. Kedua prinsip itu merupakan perasan dari dasar pertama-kedua dan ketiga-keempat.

"Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka, weltanschauung kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan perikemanusiaan, saya peras menjadi satu. Itulah sosio-nasionalisme. Dan demokrasi yang bukan demokrasi Barat, tapi politiek economische demokratie, yaitu politieke demokratic dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu: inilah yang dulu saya namakan sosio-demokrasi," tutur Sukarno di hadapan anggota BPUPKI tahun 1945.

Kemudian dia mendapat ilham tentang dasar negara yang menjadi pamungkas, yakni ketuhanan, pada saat diasingkan ke Ende, Flores. Dia menyadari bahwa alam semesta, termasuk Indonesia, adalah ciptaan dari Tuhan Yang Maha Esa.

"Tempat aku menyendiri yang kusenangi itu di bawah pohon sukun yang menghadap ke laut. Aku duduk dan memandang pohon itu. Revolusi kami, seperti juga lautan, adalah hasil ciptaan Tuhan, satu-satunya Maha Penyebab dan Maha Pencipta. Dan aku tahu... aku harus tahu... bahwa semua ciptaan dari Yang Maha Esa, termasuk diriku sendiri dan tanah airku, berada di bawah hukum dari Yang Maha Ada," kata Sukarno di buku 'Penyambung Lidah Rakyat Indonesia; di bab Pembuangan.

"Di Pulau Flores yang sepi, di mana aku tidak memiliki kawan, aku telah menghabiskan waktu berjam-jam lamanya di bawah sebatang pohon di halaman rumahku, merenungkan ilham yang diturunkan oleh Tuhan, yang kemudian dikenal sebagai Pancasila. Aku tidak mengatakan aku yang menciptakan Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali jauh ke dalam bumi kami tradisi-tradisi kami sendiri dan aku menemukan lima butir mutiara yang indah," kata Sukarno di buku 'Penyambung Lidah Rakyat Indonesia' di bab Awal dari Akhir.

Akhirnya dasar negara tentang ketuhanan disampaikan Bung Karno sebagai pamungkas. Meski terakhir disebutkan, bukan berarti Sukarno menempatkan ketuhanan di paling belakang.

"Hatiku akan berpesta raya jikalau Saudara-saudara menyetujui bahwa negara Indonesia Merdeka berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa," kata Sukarno dalam sidang BPUPKI.

Sejarawan UI Rushdy Hoesein dalam perbincangan dengan detikcom, Rabu berpandangan bahwa sejak awal Sukarno telah menyampaikan tentang Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketika pada Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 sempat menjadi 'Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya'.

Perwakilan Indonesia timur kemudian tak sependapat dengan 7 kata di sila tersebut. Akhirnya pada 18 Agustus 1945, 7 kata itu dihapuskan dan rumusannya menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.

"Sama seperti pidato Sukarno pada 1 Juni," kata Rushdy.

Sukarno dalam pidato di BPUPKI juga telah memeras Pancasila menjadi Trisila: Sosio-nasionalisme, Sosio-demokrasi, dan Ketuhanan. Sukarno juga memeras lagi 'trisila' menjadi 'ekasila'.

"Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan 'gotong-royong'. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong," tutur Sukarno di tahun 1945, yang selaras dengan tulisannya di tahun 1933.

detik.com

loading...

0 Response to "Bung Karno Gali Pancasila dari Penjara Banceuy ke Ende"

Posting Komentar

loading...