Komunitas adat Bonokeling di desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang melaksanakan ritual riyaya Idul fitri pada Selasa. Ritual itu berpatokan pada penanggalan Jawa, di mana 1 Syawal di tahun Je jatuh pada Selasa Pon.
Dalam tradisi mereka, menyambut 1 syawal ritual Riyaya ditandai dua hal pokok. Areal makam Kiai Bonokeling dibuka kembali setelah selama sebulan penuh terlarang untuk diziarahi siapapun. Secara umum, sebagaimana layaknya Idul Fitri, para trah Bonokeling saling bersilaturahmi, bersalaman yang dipusatkan di kediaman kepala desa setempat.
Saat merdeka.com mengunjungi Pekuncen pada Selasa, di kediaman pemimpin spiritual Bonokeling, Kiai Kunci Kertasari, tampak puluhan anak putu Bonokeling telah berkumpul sejak pukul 07.00 Wib. Semuanya berpakaian adat, menggunakan ikat, pakaian hitam, sarung batik dan secara bergantian bersalam-salaman melaksanakan caos bekti dengan pemuka adat. Di rumah kayu berbentuk limasan itu, sudah duduk bersila lima pemimpin lain Bonokeling yang disebut bedogol yakni Kiai Padawijaya, Kiai Padamiarja, Kiai Martaleksana, Kiai Padawinata dan Kiai Martapada.
Ketua Komunitas Adat Bonokeling, Sumitro mengatakan riyaya sebagaimana umumnya ragam ritual Bonokeling tetap dalam bentuk selametan atau memohon keselamatan. Ritual riyaya dimulai dengan mengunjungi kiai kunci lalu melaksanakan donga kubur ke makam Bonokeling oleh anak putu laki-laki. Setelah berdoa dan membersihkan makam lantas dilanjutkan berkumpul selametan di kediaman kepala desa dipimpin kiai kunci.
"Ritual riyaya ini hanya melibatkan anak putu bonokeling di Pekuncen saja. Anak putu yang di Cilacap atau luar kota tidak wajib hadir atau sukarela saja," kata Sumitro pada Merdeka.com.
Saat donga kubur, mereka yang masuk ke pemakaman mesti suci dan bertelanjang dada bagi laki-laki. Di pemakaman ini nantinya mereka mesti melakukan bersih makam. Pantangan yang tak boleh dilakukan yakni membakar daun, mematahkan ranting bahkan menebang pohon.
"Saat bersih makam hanya menepikan daun-daun saja. Bahkan untuk pohon yang hampir roboh tak boleh dipotong," ujarnya.
Setelah dari makam, sebagaimana diceritakan Kiai Kunci Kertasari saat ditemui Merdeka.com usai acara donga kubur, ritual riyaya dilanjutkan selametan di kediaman kepala desa. Di sana semua anak putu bonokeling berkumpul dimana satu keluarga membawa tenong sepikul segendongan berisi buah, jajanan, makanan berserta lauk pauk. Setelah didoakan, acara makan bersama dilakukan sebagi bentuk kenduri.
"Ini sudah naluri tiap tahun," kata Kertasari.
Salah satu pemimpin spiritual Bonokeling, Bedogol Padawinata menambahkan penanggalan Jawa punya kurun waktu tersendiri yakni satu windu terdiri atas tahun Alif, Ha, Je, Za, Dal, Ba, Wawu dan Jim Akhir. Berdasarkan perhitungan bonokeling, 1 Syawal di tahun Je jatuh pada Selasa Pon. Sebelum menyambut riyaya, trah bonokeling telah melaksanakan ritual likuran atau malam 21 puasa dan setelah riyaya akan dilakukan ritual turunan yakni membenahi pagar-pagar panembahan makam Kyai Bonokeling yang rusak.
Sedikit tentang bonokeling sendiri, anak putu Bonokeling dalam buku Islam Kejawen, Sistem Keyakinan dan ritual anak cucuk Ki Bonokeling yang ditulis Suwito Ns dkk merupakan komunitas Islam Kejawen. Perkembangan komunitas ini bermula dari tokoh spiritual bernama Ki Bonokeling yang membuka hutan dan mengembangkan pertanian di Pekuncen yang berarti suci. Anak cucu ki Bonokeling sendiri lantas menyebar ke berbagai wilayah baik di Cilacap maupun Banyumas. [noe]
merdeka.com
0 Response to "Khidmatnya Riyaya Idul Fitri dalam tradisi Bonokeling"
Posting Komentar