Setahun di Kendallville, Cerita Ceudah Tentang Toleransi di AS

JAKARTA, - Dari Serambi Mekkah Ceudah Haja Shafira terbang ke Kendallville, Indiana, Amerika Serikat, tahun 2016.

Selama dua belas bulan, Ceudah tinggal bersama orang tua angkat, seorang pastor.

Bagi Ceudah, ternyata berinteraksi dengan orang-orang yang jauh berbeda dari lingkungan kesehariannya di Indonesia, tidak seseram yang dibayangkan.

Penerimaan mereka, teman-teman Ceudah di East Noble High School serta lingkungan tempat tinggal orang tua angkatnya, begitu baik bahkan kepada kaum minoritas.

Belia 18 tahun itu juga sangat sayang dengan orang tua angkatnya. Satu hal yang ia pelajari, yaitu perbedaan bukanlah penghalang untuk saling mengenal dan mengasihi.

"Walaupun Ceudah minoritas di sana dan tinggal sama orang yang mengerti agama berbeda, tetapi Ceudah belajar banyak bagaimana perbedaan itu bukan menjadi penghalang antar dua orang untuk saling mengenal dan mencintai," kata Ceudah saat berbincang dengan di acara buka bersama, di kediaman Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Joseph R Donovan, Minggu.

"Karena walaupun berbeda agama, kami bisa makan malam bersama. Kami berdoa, mereka baca doa secara Kriatiani dan saya baca doa secara Islami, lalu kami pun makan," lanjut Ceudah.

Ceudah adalah satu dari 83 pelajar Indonesia yang mengikuti Youth Exchange Study Program.

YES Program adalah kegiatan pertukaran pelajar yang dikembangkan Departemen Luar Negeri AS dan menyasar pelajar di negara-negara mayoritas Muslim.

Tujuannya adalah mengenalkan para pelajar tentang AS sekaligus membuat orang-orang di Negeri Paman Sam memiliki pemahaman yang lebih baik tentang Islam.

Ceudah, pelajar SMA Negeri Modal Bangsa Aceh itu, rupanya sangat tertarik dengan program tersebut.

Ia juga mengaku selalu tertarik dengan hal-hal baru dan membuat pengalaman baru.

Setelah serangkaian tes seleksi, Ceudah akhirnya lolos dan berangkat ke AS. Di sana, Ceudah tidak hanya belajar di East Noble High School.

Dia juga mempromosikan tentang Indonesia dalam berbagai forum, baik di kelas, maupun di organisasi.

Bagi Ceudah, yang menarik saat awal sekolah di sana adalah proses adaptasinya. Karena sistem pendidikan di Amerika Serikat berbeda dari sistem pendidikan di Indonesia.

"Karena sistem pendidikan di AS itu moving class, jadi kalau mau berteman tidak semudah di Indonesia yang kenal semua karena satu kelas," kata dia.

"Di sana memang kita harus datang ke mereka memperkenalkan diri. Kalau misalnya kita diam saja, mereka tidak akan peduli. Tetapi maksudnya bukan mereka benar-benar tidak peduli. Mereka hanya tidak kenal kita," kata Ceudah.

Gadis yang sehari-hari mengenakan jilbab ini tidak merasa kesulitan dalam beribadah.

Misalnya, ketika hendak shalat dzuhur, Ceudah diperkenankan oleh pihak sekolah untuk menggunakan salah satu ruangan untuk sembayang, setelah meminta izin terlebih dahulu kepada counselor.

Ceudah merasa masyarakat di daerah tempat tinggalnya juga tidak menunjukkan gejala-gejala Islamophobia.

Namun, di daerah lain, dia mengakui ada segelintir orang yang masih menampakkam gejala-gejala tersebut.

"Di daerah Ceudah tidak ada, kayaknya mereka sudah mengerti. Cuma ada beberapa orang yang kadang termakan media, underestimate, tidak mengerti tetapi judging," kata dia.

"Tetapi Ceudah banyak berinteraksi dengan orang, dan mereka tahu kalau tragedi itu, orangnya yang salah. Bukan tentang agamanya. Menurut Ceudah, bahkan kalau dia tidak ada agama atau dia Atheist pun kalau mau berbuat jahat, ya berbuat jahat saja," ucapnya.

Sementara itu, kegiatan yang menurutnya menyenangkan ketika di luar sekolah adalah mengikuti organisasi, seperti MAYC atau the Mayor's Youth Advisory Council.

Ceudah mengatakan, organisasi ini dipegang langsung oleh Wali Kota Kendallville, dan di dalamnya para pemuda bisa berinteraksi langsung dengan wali kota mereka.

"Kayaknya itu bagus diterapkan di Indonesia, di mana pemimpin langsung berinteraksi dengan pemuda dan membuat hal-hal baru, proyek baru. Menurut Ceudah, memang pemuda itu belum cukup pengalaman dalam andil pemerintah. Tetapi kalau organisasi seperti itu, mereka bisa memberikan ide dan mendapat pengalaman," katanya.

Dari pengalamannya mengikuti program pertukaran pelajar ini, Ceudah merasa mendapat banyak pelajaran dan pengalaman berharga. Kepemimpinan, kemandirian, budaya, saling menghargai perbedaan.

Diterima di lingkungan yang mayoritas berbeda membuat Ceudah belajar untuk menunda menghakimi orang lain.

"Tunda judging. Kalau kita ketemu orang jangan langsung judging. Tunda dulu dan mengerti dulu. Karena orang itu berbeda-beda dan setiap orang punya sisi baik dan buruk. Dan kadang orang tidak seperti apa yang terlihat," pungkasnya.

kompas.com

loading...

Related Posts :

0 Response to "Setahun di Kendallville, Cerita Ceudah Tentang Toleransi di AS"

Posting Komentar

loading...