Cerita Menara Air Tua di Tengah Padatnya Permukiman di Manggarai

— Sebuah menara terlihat menjulang di tengah padatnya kawasan penduduk di Manggarai, Tebet, Jakarta Selatan. Menara itu tersusun dari bata-bata kemerahan dengan desain jendela-jendala yang tidak lagi lazim di zaman sekarang.

Andai tidak melihat nama jalan dan memperhatikan desainnya, maka bangunan ramping dan tinggi tersebut akan lebih mudah disangka sebagai menara masjid karena sejumlah corong pengeras suara tertempel di sudut-sudutnya, apalagi saat jalan menuju menara itu bermuara ke sebuah mushala bernama Nurul Iman.

Namun, jika menilik nama jalan di kawasan itu, maka bisa diterka bahwa menara tersebut berfungsi sebagai penampung air karena terletak di Jalan Menara Air.

"Wah dulu kalau airnya penuh terus tumpah ke bawah, pada ramai itu orang-orang kumpul di bawah," ujar Rosadi, mantan warga Bukit Duri yang pada masa kecilnya di tahun 1960-an pernah merasakan limpahan air tersebut dan hanya mengatakan bahwa menara ini kemungkinan buatan Belanda.

Letak menara air ini sendiri tidak mudah dijangkau dari Jalan Menara Air karena terhimpit rapat rumah-rumah penduduk, meski ternyata bisa dimasuki melalui 3-4 gang.

Selanjutnya hanya ada satu-satunya jalan di punggung mushala agar kita bisa berhadap-hadapan langsung dengan menara, yang itu pun sama artinya dengan memasuki pekarangan sebuah rumah.

Di rumah itu, pada saat datang, Selasa sore, seorang pria terlihat merebah di teras rumah itu dan mengangguk saat meminta izin untuk masuk. Lalu, terlihat pintu besi di belakang menara untuk bisa masuk ke dalamnya.

Pintu itu berjendela model jala dan begitu tebal sehingga cukup berat ketika coba dibuka, menandakan padatnya logam bahan bangunan pada era yang belum seekonomis saat ini.

Saat pintu terbuka, terlihatlah sebuah sistem tua pengaliran air dengan pipa-pipa berwarna biru di dalamnya. Di sisi tembok bangunan terdapat tangga terpasang bertahap berbeda sisi. Satu tangki besar berdiri sebagai langit-langit. Sementara itu, tidak ada pijakan apa-apa di belakang jendela-jendela yang terlihat dari luar itu.

Baca: Kekayaan Cagar Budaya Kereta Api

Dilarang masuk

 

Bisa memasuki menara tersebut sebenarnya sebuah ketidaksengajaan. Nyatanya, tidak boleh ada yang masuk dan membuka pintu besi besar kemerahan bangunan tua itu tanpa meminta izin.

Pria yang memberikan anggukan tadi menjelaskan bahwa sudah banyak orang yang ingin melihat bagian dalam menara air ini.

Kebetulan pengunci di pintu menara tersebut patah sehingga gerakan spontan tadi memungkinkan bagian dalam menara untuk dilihat.

"Ada yang mau buat acara, mau foto pre-wedding, segala macam. Ya saya bilang, minta izin saja dulu kalau mau pakai," ujar pria tersebut, yang bernama Maryono.

Beberapa orang dari sejumlah stasiun TV pun sebelumnya pernah mencoba datang dan membuat semacam acara uji nyali karena konon menara tersebut dihuni makhluk halus.

Benarkah menara ini angker? Maryono hanya tersenyum dan berpesan, asalkan tidak ada yang mengganggu, tentu tidak akan diganggu.

"Ya ada bunyi-bunyi, kadang kompor di rumah saya nyala sendiri," ujarnya masih dengan mimik senyum.

Hampir 100 tahun

Balai Yasa Manggarai memang punya peran terhadap menara air ini karena dibangun berfungsi menyimpan air untuk keperluan perkeretaapian.

Uniknya, sulit mengira bahwa menara air ini terhubung ke Balai Yasa karena area yang sebelumnya lapang kini menjadi padat.

Banyak pertokoan dibangun di area Manggarai sejak akhir 1960-an seperti dicatat dalam dalam Harian Kompas 20 Februari 1970 dalam "Pengamanan Sarana Perkeretaapian Ibukota Terbengkalai".

Tebet sendiri di tahun itu tumbuh sebagai wilayah perumahan yang menampung penduduk pindahan dari kampung Senayan karena pembangunan kompleks olahraga, berdasarkan catatan pribadi Firman Lubis dalam " Jakarta 1960-an".   

Bicara jarak, antara Menara Air Manggarai dan pagar Balai Yasa rupanya hanya berjeda lebih kurang 50 meter. Menara itu terlihat hanya tersambung jembatan dan pipa dengan SMP 33 di sebelahnya, dan sisanya terpisahkan oleh anak Kali Ciliwung yang mengalir dari intinya di dekat Pasaraya Manggarai.

Andai perumahan di sana belum sepadat kini, maka menara tersebut sebenarnya berdekatan dengan Balai Yasa. Mungkin posisinya dulu berada di halaman Balai Yasa.

Soal kapan menara itu berdiri, Kompas 13 Juni 1975 dalam "Balai Yasa Manggarai Masih Berdaya Guna 20 Tahun Lagi" menyebut bahwa Balai Yasa sendiri berdiri sekitar tahun 1920.

Sementara itu, seorang warga yang juga mantan pekerja Balai Yasa bagian bubut roda kereta api, Abun, mengatakan kalau menara itu sendiri dibangun tahun 1917.

Terlepas dari tahun pembuatannya, Abun juga Maryono mengatakan bahwa menara yang sudah berusia hampir 100 tahun itu masih berfungsi.

Baca: Ini Penyebab PT KAI Bersikeras Tertibkan 11 Bangunan di Manggarai

Jika sejumlah informasi menyebutkan bahwa menara itu pada awalnya menggunakan prinsip hisap air dari Ciliwung, Abun yang lahir tahun 1941 mengatakan bahwa terakhir menara itu mengambil air dari saluran bor yang dibuat di dekat SMP 33, sekolah yang berdiri di belakang menara air tua itu.

"Masih, masih jalan itu. bukan. Airnya dari SMP 33," ujar Abun, Kamis, yang mengaku sempat pula menjaga masjid di samping menara dan punya cerita unik bahwa menurut warga lain ada sosok orang yang menyerupai dirinya beraktivitas di tempat tersebut.

Cerita Menara Air Manggarai sendiri sebenarnya hampir hilang karena sulit mencari literasi mengenai sejarah pembangunannya.

Namun, ada sedikit harapan dari PT Kereta Api Indonesia yang berkomitmen memperhatikan pelestarian bangunan-bangunan cagar budaya perkeretapian, sekalipun saat ini terlihat belum menyentuh menara air tersebut.

kompas.com

loading...

0 Response to "Cerita Menara Air Tua di Tengah Padatnya Permukiman di Manggarai"

Posting Komentar

loading...